Sumatera Berduka, Solidaritas Menggema

Desember 10, 2025



“Sepertinya kami tidak butuh makan lagi, kirimkan saja kain kafan.” 

Kalimat ini membuat hati teriris membacanya. Di tengah bencana yang melanda Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh, salah seorang warga yang terdampak mengeluarkan statement begitu. Sebuah statement yang menurutku terucap karena rasa kecewa, putus asa, dan pasrah. 

Rasanya sudah berhari-hari banjir yang melanda Sumatera berlalu, namun pilunya tak pernah surut. Harapan orang-orang yang tertimpa musibah untuk dapat bantuan ini pun masih sangat besar. Tapi mereka tidak tamak, mereka hanya mengambil seperlunya saja sesuai kebutuhan. 

Ironisnya, di luar sana beredar kabar mereka melakukan ‘penjarahan’. Video itu beredar luas di media sosial. Aku, kamu, ya.. kita semua mungkin sempat melihatnya. Barangkali diantara kita sempat mengutuk, bahkan murka sejadi-jadinya melihat aksi mereka yang disebut-sebut sebagai aksi penjarahan. Tapi aku lagi-lagi berpikir, apa benar itu ‘penjarahan’?

Benarkah Penjarahan?

Lagi-lagi hati ini terluka mendapati kebenaran. Nyatanya, warga yang terdampak tidak melakukan penjarahan. 


Sebuah kebenaran yang kudapati dari rekan kerja yang bertugas untuk meliput di wilayah Aceh, dia sendiri yang mengatakan bahwa itu bukan penjarahan. Dia bilang warga Aceh hanya mengambil barang dari swalayan yang diperbolehkan pemiliknya tanpa merusak. Mereka tidak membobol ataupun merusak pintu swalayan. Semua itu atas dasar izin pemilik lantaran barangnya pun sudah terkena banjir. 

Aku benar-benar nggak nyangka kenapa isu penjarahan itu disebar. Tujuannya apa? Entahlah. 

Bahkan di beberapa narasi postingan relawan yang terjun di wilayah Aceh juga menyatakan tidak perlu takut dengan isu penjarahan. Isu itu belum terungkap kebenarannya. Entahla jika di daerah lain yang sempat diisukan dengan narasi serupa. Aku belum dapati kebenarannya. 

Tapi untuk para relawan yang bergerak, bergerak lah terus. Tolong temui mereka, genggam tangan mereka, peluk mereka. Orang yang tidak bisa turun langsung seperti aku ini sangat berterima kasih pada relawan semua. Karena kalian telah berjuang untuk membantu negeri di tengah darurat bencana yang terjadi. 

Malu dengan Pemerintah 

Justru, aku pribadi malu dengan pemerintah. Bukan tidak menghargai para petinggi atas usaha yang (barangkali) diusahakan. Tapi rasa-rasanya empati itu kurang. Mereka yang datang hanya formalitas belaka. Mereka tidak melihat dengan mata telanjang bahwa tempat-tempat yang di datangi itu telah hancur porak-poranda, rumah warga ada yang hancur rata dengan tanah. 

Malah ada yang tergesa-gesa memberikan penjelasan bahwa "situasi yang terjadi di Sumatera hanya mencekam di medsos," seolah mencoba meremehkan situasi, sebelum akhirnya fakta di lapangan membantah segalanya. Korban yang meninggal dunia terus bertambah, infrastruktur dan rumah-rumah warga banyak yang rusak, daerah-daerah terisolasi, dan ribuan warga terpaksa mengungsi dalam kondisi darurat.

Miris rasanya! Di tengah derasnya arus air bah yang menghanyutkan rumah, jembatan, ternak, dan mata pencaharian, publik justru disuguhi kegagapan pejabat negara. 

Solidaritas Sosial: Masyarakat Bantu Masyarakat

Di tengah ketidakpastian yang diperlihatkan sebagian otoritas, justru rakyatlah yang sekali lagi menunjukkan jati diri bangsa: gotong royong yang lahir dari hati, solidaritas yang berdiri tanpa komando, serta kepedulian yang melampaui batas kelompok, daerah, atau pilihan politik.


Berbagai relawan dari instansi, komunitas kecil di desa, hingga warga kota yang mengirim bantuan logistik— semua bergerak. Semua menyatu dalam satu energi: bahwa penderitaan sesama anak bangsa adalah penderitaan kita semua.

Rasa-rasanya bukan saatnya lagi aparat atau pejabat berbicara setengah hati. Bukan waktunya menyamarkan fakta untuk menjaga wajah institusi. Rakyat sekarang menuntut:

Data yang jujur

Kesiapsiagaan yang nyata

Keputusan yang cepat dan tegas

Kebijakan yang berpihak pada keselamatan, bukan kepentingan politik.

Ingat, bencana hari ini harus menjadi wake-up call bagi pemerintah bahwa rakyat bukan lagi penonton pasif yang bisa diyakinkan dengan narasi manis. Rakyat adalah saksi langsung dari tragedi, dan mereka berhak atas kebenaran.

You Might Also Like

0 komentar

Ads Here

Sidebar Ads

Like us on Facebook

Follow Instagram