(Belajar) Mencintai dalam Diam
September 19, 2017
“Anton aku mau hubungan kita sampai disini,”
kataku lewat pesan pengganti diri malam itu.
“Kenapa
apa Ra? Ada apa ini? Kau tiba-tiba mengirimkan pesan seperti ini. Kau pasti
bercandakan?” balasanya.
Aku
yang membaca pesan singkat darinya merasakan sakit. Hati yang sudah lama tak
pernah lagi menekmati manis dan pahitnya asmara kini kembai merasakan itu.
bagaimana tida, dia menganggap semua ini semua gurauan? Apa dia pikir selama
ini hatiku hanya untuk dia jadikan sebagai lelucon semata? Kesedihanku semakin
menjadi. Rasanya hati ini sudah hancur berkeping-keping. Harusnya aku sadari
bahwa resiko ini pasti aku alami.
Malam
itu sebenarnya aku dan dia sedang berada di tempat yang sama. Kebetulan aku dan
dia bergelut pada suatu kegiatan kampus yang sama Hanya saja aku tak ingin lagi
berbicara panjang dengannya. Belum lagi waktu yang sudah larut malam. Tapi itu
bukan alasan terpenting yang membuat aku
tak ingin menemuinya.
Malam
itu, saat aku mengirimkan pesan, jarakku dan dia terpaut tak begitu jauh. Aku
masih sangat jelas melihat punggungnya di bawah senir lampu taman kampus.
Kulihat dia bersama dengan seorang wanita yang rambutnya tergerai indah. Aku
kenal jelas siapa wanita itu. Iya dia tak asing
lagi dari pandangan mataku. Dapat kupastikan mereka berdua sedang
membicarakan hal yang serius. Raut muka Anton berubah setelah Rindi mengucapkan
sesuatu penuh senyum. Rindi meraih tangan Anton dan mengusapkannya di pipinya.
Anto hanya diam dan perlahan tanggan kanannya membelai rambut Rindi.
Aku
yang melihat kejadian itu dari belakang mersa kaget. Hatiku sesak. Mulutku dan
kakiku mendadak kaku. Kurasakan pipiku mulai basah. Jangan paksa aku mengakui
kalau itu adalah air mata. Aku sudah berkomitmen tidak akan meneteskan air mata
untuk seorang pria. Namun komitmen itu runtuh seketika. Nyatanya aku menangis
karena dia.
“Kok
belum tidur? Sudah larut malam?” ucap Dayat mengagetkanku.
Kulihat
Dayat tengah ada disampingku. Mungkin dia melihatku menangis. Buru-buru kuhapus
air mataku. Namun dia menahan tanganku.
“Tak
perlu kau hapus. Menangislah jika kau ingin menangis. Aku akan menemanimu Ra.
Pasti aku siap menjadi sapu tangan dan pendengar setia kesedihanmu,” katanya.
Dayat
memang lelaki yang baik. Tak seperti Anton yang selalu berjanji dan nyatanya
tak pernah terjadi. Dayat adalah deretan orang yang sempat terukir dalam
hatiku. Sayangnya saat nama itu sudah terukir, Anton dengan mudahnya datang dan
mengahpus nama Dayat dalam hatiku. Ku akui, sebananrnya nama Dayat tak
seutuhnya terhapus dalam hatiku. Hubunganku dengan Anton pun tak pernah
dilandasi dengan cinta seutuhnya.
“Aku
tahu Anton masih cinta sama Rindi. Kau tahu Yat, saat ini hatiku hancur.
Didepanku Anton membelai rambut Rindi dan menatapnya penuh arti. Aku…” ucapanku
terhenti. Tangisku semakin menjadi.
“Kau
cemburu?” tanyanya hati-hati.
Aku
menatapnya lekat saat dia menanyakan itu. Dia ulangi lagi pertanyaan itu. kali
ini sedikit lebih yakin untuk menanyakan itu padaku. “Kau cemburu?” Aku
mengeleng, pertanda mengatakan bahwa aku tidak cemburu.
“Lantas
kenapa kau menangis? Kau tahu Aira, air matamu terlalu mahal untuk menangisi
seorang lelaki seperti ini. Kau harusnya tak menangisinya,” tuturnya dengan
lembut.
Hatiku
sedikit tenang. Aku ingat komitmen yang pernah aku buat dan kini aku runtuhkan
sendiri. Aku menyeka air mataku. Aku tersenyum penuh arti pada Dayat. “Makasi
Yat. Kau selalu ada saat aku sedih seperti ini. Sedangkan aku belum tentu ada
saat kau sedih, “ ucapku.
“Sama-sama
Aira. Kau lebih cantik jika tersenyum. Aku akan selalu ada untuk menemanimu Ra.
Pun yang aku tahu kau selalu menemaniku saat aku sedih dan saat penat bertamu.”
“Ini
sudah sangat larut. Kamu tidur gih. Besok kita masih ada kegiatan lainnya,”
tambahnya lagi mengalihkan pembicaraan.
Dia
selalu begitu. Tak pernah ingin membahas soal hati terlalu mendalam. Mungkin
menurutnya cinta cukup hanya dalam diam. Ini yang membuatku tertarik padanya.
Kulangkahkan kakiku meninggalkan Dayat. Kini hatiku sedikit lebih legah. Aku
sadar tak seharusnya aku meruntuhkan pertahanan yang telah kubuat. Tak
seharusnya aku membiarkan Anton mengobrak-arik hatiku dengan udahnya.
Sejak
malam itu aku dan Anton tidak lagi bersama. Hubungan yang telah kami pupuk dan
kami sirami dengan hari-hari yang indah kini layu sudah. Aku tak ingin tahu
mengenai hubungan Anton dan Rindi. Tapi yang terakhir kali aku dengar dari
temanku, bahwa Rindi hanya ingin melihatku dan Anton putus. Rindi yang sempat
menjadi orang terpenting dalam hidup Anton merasa cemburu saat aku menggantikannya
di hari-hari Anton. Rindi tak ingin melihat Anton bahagia karenaku. Namun
bagiku itu semua tak masalah. Setidaknya aku tak lagi harus bersedih karena
seorang lelaki. Aku kembali memegang komitmen itu.
Pun
setelah malam itu, hubungan aku dan Anton juga masih baik-baik saja. Meski
sempat beberapa hari aku dan dia berdiaman. Setidaknya untuk membiasakan
diri dengan kenyaatan yang tidak lagi
bersama. Untungnya itu tidak berlangsung lama. Aku dan Anton bisa menyikapi itu
sejara dewasa dan professional. Bagiku yang lalu biarlah menajdi kenangan.
Pahit dan buruk, manis dan indahnya tidak urusan belakang. Setidaknya aku
pernah menata cerita yang didalamnya ada bahagia dan derita. Dan satu hal, kini aku belajar mencintai seseorang dalam
diam. Aku tak ingin lagi terlalu cepat jatuh hati pada seseorang. Cukup bagiku
jika mencinta hanya lewat diam.
CATATAN: Tulisan ini telah diikutkan dalam sayembara penulisan dan telah diterbitkan dalam bentuk antalogi.
0 komentar