UCLA, Catatan Pelabuhan Pendidikan(nya)

Oktober 24, 2017



Benar memang dibalik kesuksesan seorang pria ada seseorang yang sangat berpengaruh. Hal yang sama dirasakan oleh Alm. Prof. Fadhil Lubis semasa hidupnya dulu. Berpetualang dari Lhoksumawe hingga ke Medan rela dia lakukan. Perjalanan hidup yang tidak singkat telah dia nikmati. Tapi tetap saja istri sebagai pendamping hidup harus terus berjalan beriringan. Apapun itu kondisinya. Saling berbagi keluh-kesah, mendengarkan pendapat pun harus dilakukan dalam sebuah hubungan. Itu yang dilakukan Alm. Prof. Fadhil Lubis untuk menyelesaikan pendidikannya.

“Selesaikan kuliah abang itu,” ujar istrinya, Sari Eka.

Sejak saat itu dia memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya sambil bekerja. Meski ditengah-tengah waktu menimba ilmu terkadang dia tidak masuk kuliah. Namun tidak ada kendala bagi orang sepertinya. Seseorang yang tidak bosan-bosannya membaca. Barangkali waktu senggangnya dihabiskan hanya untuk baca, baca, dan baca. Mulai dari membaca buku ilmu sosial, ilmu bahasa Inggris, dan ilmu lainnya. 

Tentu saja, selain seorang istri yang mendorong kesuksesan seseorang, pun pergaulan turut menyertai. Teman yang ada di sana- sini membuatnya semakin mudah untuk menyelesaikan pendidikan. Seperti Sori Tawon, temannya yang tidak kalah rajin dengannya. Bantuan Sori Tawon untuk meminjamkan catatan kuliah sewaktu dia tidak masuk memang sangat membantu. Hingga dia menyelesaikan skripsi pertamanya dalam Bahasa Inggris dengan judul “Social Justice in Islamic Law.”

Menyelesaikan skripsi pertama bukan berarti dia berpikir utnuk mengakhiri pendidikannya. Semangat belajarnya tak pernah pudar. Buktinya saja setelah mengabdi di IAIN dia mempersiapkan diri untuk sekolah (lagi). Berbagai test sekolah dia ikuti, seperti testing ke Arab Timur Tengah, Fourd Foundation, dan Fullbright.

“Pernah testing ke Arab Timur Tengah dan lulus ke Mesir. Tapi tidak jadi pergi karena syaratnya beli tiket sendiri dulu sampai sana baru diganti,” jelasnya.

Hingga akhirnya tahun 86 dia berhasil meraih kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di UCLA. Perjuangan yang dilakukan untuk meraih semua tidaklah mudah. Kemauan dan tekad yang kuat benar-benar membawanya pada gerbang yang mungkin dulunya tidak dia pikirkan. Belajar Bahasa Inggris secara otodidak hingga akhirnya menjadi expert. Dimana waktu itu dia sudah mengajar Bahasa Inggris di PPIA lembaga kursus dan kebetulan saat itu dia telah mengajar Bahasa Inggris tingkat tinggi.  Sehinga proses itu dijadikan batu loncatan untuk menempuh pendidikan melalui program Fullbright.

Kesungguhannya belajar benar-benar nyata. Buktinya saja dia berhasil mendapatkan nilai tertinggi Bahasa Inggris pada testing Fullbright, dengan nilai TOEFL yang lebih dari ketetapan. Dimana awalnya ditetapkan 550 dan dia meraih 620. Pada saat itu suasana Amerika sedang mendekati umat Islam. Jadi program Islamic Studies sedang dikembangangkan oleh Menteri Agama, Munawir Sjadzali.       

Berhasil mendapatkan program Fullbright bukan berarti perjalanan yang ditempuhnya  mulus. Dia masih harus tanya sana-sini untuk mencari tempat melanjutkan pendidikannya. Sebab sistem pendidikan, iklim, dan keadan di Negara yang dia inginkan untuk menempah pendidikan berbeda dengan Negara kelahirannya, Indonesia. Jadi untuk hal kecil pun perlu dipertanyakan. Salah satu sumbernya saat itu Pak Usman Pelly.

“Gimana Bang bagusnya?” tanyanya.

“Aku pun tidak tahu mana yang bagus. Di Chicago lah,” sarannya waktu itu.

Usman Pelly mengajaknya menjumpai Cak Nur dan Cak Nur langsung merekomendasikan dan membuat surat ke Fazlur Rahman ke Chicago. Namun sayang sebulan hendak berangkat, Fazhrul Rahman meninggal. Pun keberangkatannya ditunda. Cak Nur merekomendasikan  ke Temple University. Masih ada keraguan dibenaknya, dia bertanya pada temannya Stanley Harsha yang merupakan konsulat di Chicago.

“Kalau dengan nilai tinggi bisa memilih ke universitas kelas satu, pilih saja,” saran Stanley saat ditanyai Alm. Prof. Fadhil Lubis.

Hingga akhirnya dia memilih berlabuh di UCLA untuk menimba pendidikan, karena UCLA memiliki pogram Islamic Studies yang sifatnya multidisipliner, bisa dibidang hukum dan sosial. Selain itu iklim tropis juga menjadi alasannya memilih melanjutkan pendidikan di sana. 


Perjalanannya untuk bisa menikmati pendidikan yang lebih tidaklah mudah. Semua butuh perjuangan dan pengorbanan yang luar biasa. Sebab tidak ada hasil yang indah tanpa pengorbanan yang luar biasa. Tidak ada sesuatu hal berharga di raih dengan cara yang instan. Semua butuh pengorbanan. 

*****

Nama dan Gelar: Nur Ahmad Fadhil Lubis
Tempat, Tanggal Lahir: Petangguhan, 17 November 1954
Agama: Islam
Pendidikan Terakhir: S3 Islamic Studies, California University 1994


*Tulisan ini dibuat berdasarkan hasil transkip wawancara pada tahun 2016




You Might Also Like

0 komentar

Ads Here

Sidebar Ads

Like us on Facebook

Follow Instagram